Selasa, 16 Desember 2014

Apa Itu Bahagia?

Entah apa yang akan kutulis. Mungkint terlihat cengeng, kekanak-kanakan, tapi biarlah aku menjadi seperti itu sesaat.

Apa itu bahagia?

Apakah masih terdefinisikan dengan kepemilikan uang yang begitu banyak. Harta yang berlimpah. Membersamai perempuan idaman. Itukah? Iya, itukah?

Entahlah. Aku pun tak tahu jawabannya.

Bisa jadi aku pun ingin bahagia dengan cara seperti itu. Memiliki banyak harta. Berlimpah, banyaknya bukan main.

Membersamai dengan pasangan hidup. Yang orang kerap kali singgung dalam nomenklatur cinta. Ayolah, cinta tidak melulu berbicara tentang lawan jenis, kan?

Ya, aku ingin bercinta, mencinta, dan dicinta. Tentu saja. Dengan seorang gadis. Pabila itu diperkenan, aku ingin selalu berkirim surat padanya, mengungkapkan detil-detil rasa pada tiap kata. Gadis yang mampu berdialektika dengan kata-kata. Memahami aksen dan diksiku. Bersama dalam romantika rasa yang menenteramkan. Seperti kisah Gus Dur ketika ia rindu atau ingin mengungkapkan rasa pada istrinya, maka ia tuliskan sebuah surat. Meskipun istrinya di rumah. Meskipun mereka tidak sedang berjauh. Ya, aku ingin seperti itu. Berdialektika dengan kata-kata. Atau seperti terkisah dalam film The Intouchables di mana pria lumpuh itu menjalin cinta dengan bersurat saja. Tanpa pernah menampakkan muka, tanpa pernah bertemu, mereka berdua larut pada dalamnya serta lembutnya kata-kata yang tertulis.

Entahlah, apakah itu bahagia?

Siapa perempuan itu? Yang mau menuliskan rasa dan cinta dalam kata-kata. Yang dapat tertawa, tersenyum, marah, dan sedih dalam keeleganan kata-kata yang ditulis. Adakah?

Sementara aku terjebak dalam rasa suka yang dibatasi batasan-batasan fisik materi. Aku masih suka dia yang bahkan tak pernah menyisakan sepotong hatinya untukku. Pun ketika aku membersamainya, apakah itu akan bahagia?

Entahlah, bagaimana itu bahagia?

Mari sejenak tinggalkan dan lupakan terkait jodoh. Toh ada sebagian orang yang menganggap bahwa peruntukan wanita bukanlah sebagai kebutuhan, tapi sekadar pelengkap kehidupan. Bukankah manusia tetap hidup tanpa menikah? Terserah mau percaya atau tidak. Yang jelas aku bisa jadi akan membujang untuk seumur hidup jika pun aku memercayainya sebagai sebuah prinsip kehidupan. Bukan karena tak ada perempuan yang sanggup menjadi pasangan jiwa.

Ya, lagi-lagi aku mempertanyakan apa itu bahagia?

Apakah itu sederet prestasi? Prestasi yang harus diupdate di akun-akun media sosial? Ketika mendapatkan sesuatu, maka dengan cepat ingin menginfokan kepada seluruh penjuru dunia,”Hei, aku ...!” Baik-baik, aku mengerti. Aku pun kadang seperti itu. Terkadang sesal setelah melakukan itu. Buat apa aku melakukan kecongkakakan? Hah?

Apakah bahagia itu dengan upload foto-foto panorama indah, makanan yang tak dapat dibagi. Sekadar pamer. Wow, pamer itu bukan sekadar, tetapi berkadar-kadar! Apakah itu kebahagiaan? Apakah itu benar-benar hakiki? Apakah aku tak takut membuat orang lain iri? Ataukah aku sengaja membiarkannya saja?


Apakah Kamu sedang membaca ini? Apakah membaca tulisan ini merupakan kebahagiaanmu?Entahlah. 

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar. Bebas!