Entah apa yang
akan kutulis. Mungkint terlihat cengeng, kekanak-kanakan, tapi biarlah aku
menjadi seperti itu sesaat.
Apa itu bahagia?
Apakah masih
terdefinisikan dengan kepemilikan uang yang begitu banyak. Harta yang
berlimpah. Membersamai perempuan idaman. Itukah? Iya, itukah?
Entahlah. Aku pun
tak tahu jawabannya.
Bisa jadi aku pun
ingin bahagia dengan cara seperti itu. Memiliki banyak harta. Berlimpah,
banyaknya bukan main.
Membersamai
dengan pasangan hidup. Yang orang kerap kali singgung dalam nomenklatur cinta.
Ayolah, cinta tidak melulu berbicara tentang lawan jenis, kan?
Ya, aku ingin
bercinta, mencinta, dan dicinta. Tentu saja. Dengan seorang gadis. Pabila itu
diperkenan, aku ingin selalu berkirim surat padanya, mengungkapkan detil-detil
rasa pada tiap kata. Gadis yang mampu berdialektika dengan kata-kata. Memahami
aksen dan diksiku. Bersama dalam romantika rasa yang menenteramkan. Seperti
kisah Gus Dur ketika ia rindu atau ingin mengungkapkan rasa pada istrinya, maka
ia tuliskan sebuah surat. Meskipun istrinya di rumah. Meskipun mereka tidak
sedang berjauh. Ya, aku ingin seperti itu. Berdialektika dengan kata-kata. Atau
seperti terkisah dalam film The Intouchables di mana pria lumpuh itu menjalin
cinta dengan bersurat saja. Tanpa pernah menampakkan muka, tanpa pernah
bertemu, mereka berdua larut pada dalamnya serta lembutnya kata-kata yang
tertulis.
Entahlah, apakah
itu bahagia?
Siapa perempuan
itu? Yang mau menuliskan rasa dan cinta dalam kata-kata. Yang dapat tertawa,
tersenyum, marah, dan sedih dalam keeleganan kata-kata yang ditulis. Adakah?
Sementara aku
terjebak dalam rasa suka yang dibatasi batasan-batasan fisik materi. Aku masih
suka dia yang bahkan tak pernah menyisakan sepotong hatinya untukku. Pun ketika
aku membersamainya, apakah itu akan bahagia?
Entahlah,
bagaimana itu bahagia?
Mari sejenak
tinggalkan dan lupakan terkait jodoh. Toh ada sebagian orang yang menganggap
bahwa peruntukan wanita bukanlah sebagai kebutuhan, tapi sekadar pelengkap
kehidupan. Bukankah manusia tetap hidup tanpa menikah? Terserah mau percaya
atau tidak. Yang jelas aku bisa jadi akan membujang untuk seumur hidup jika pun
aku memercayainya sebagai sebuah prinsip kehidupan. Bukan karena tak ada
perempuan yang sanggup menjadi pasangan jiwa.
Ya, lagi-lagi aku
mempertanyakan apa itu bahagia?
Apakah itu
sederet prestasi? Prestasi yang harus diupdate di akun-akun media sosial?
Ketika mendapatkan sesuatu, maka dengan cepat ingin menginfokan kepada seluruh
penjuru dunia,”Hei, aku ...!” Baik-baik, aku mengerti. Aku pun kadang seperti
itu. Terkadang sesal setelah melakukan itu. Buat apa aku melakukan
kecongkakakan? Hah?
Apakah bahagia
itu dengan upload foto-foto panorama indah, makanan yang tak dapat dibagi.
Sekadar pamer. Wow, pamer itu bukan sekadar, tetapi berkadar-kadar! Apakah itu
kebahagiaan? Apakah itu benar-benar hakiki? Apakah aku tak takut membuat orang
lain iri? Ataukah aku sengaja membiarkannya saja?
Apakah Kamu
sedang membaca ini? Apakah membaca tulisan ini merupakan
kebahagiaanmu?Entahlah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar. Bebas!