Senin, 15 Desember 2014

Hidup Itu Penuh Perjuangan

Pos kali ini masih berkait dengan pos yang sebelumnya. Namun sudut pandang dalam pos ini agak sedikit berbeda.

Pertama, penulis ingin menyampaikan sebuah mukadimah uraian kali ini. Suatu waktu penulis pernah menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tugas manusia itu beraneka. Penulis menyinggung manusia yang berperan sebagai khalifah, imam, dan amir.[1] Secara singkat, penulis menjelaskan bahwa substansi dari ketiganya merupakan beban sekaligus tanggun jawab manusia sebagai makhluk Allah Swt yang terpilih untuk mengemban amanahnya di bumi; hidup di bumi. Andaikan manusia sudah berada di surga tentulah manusia tidak disandangi dengan gelar-gelar tersebut: khalifah, imam, dan amir. Kenapa? Karena tupoksi[2] manusia saat berada di bumi dan di surga atau akhirat tentu sudah berbeda.

(1)   Demi masa.
(2)   Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
(3)   kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al-‘Ashr]

Mukadimah kedua, penulis teringat dengan beberapa ayat di surat Al-‘Ashr. Di situ disebutkan pada ayat kedua bahwasanya manusia benar-benar dalam kerugian. Namun itu tidak disandarkan kepada (1) orang yang beriman, (2) beramal baik, dan (3) saling bernasihat dalam sabar dan kebaikan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya orang yang tidak beramal baik maka dia termasuk orang-orang yang merugi. Ketiga perbuatan yang disebutkan oleh surat ini merupakan tindakan aktif, bukan tindakan pasif. Artinya, tindakan tersebut harus dilakukan terus menerus. Tidak boleh putus, tetapi terus berlanjut.

Mukadimah ketiga terkait ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Dalam teori SDM (Sumber Daya Manusia), seorang karyawan dalam sebuah perusahaan haruslah memiliki beberapa faktor agar dapat dikatakan berkembang (developing). Di antaranya faktor-faktor tersebut ada proses penggajian yang memuaskan, proses belajar (learning process), dan semangat kerja. Ambil salah satu indikator yakni proses belajar. Apabila karyawan tidak meningkat kemampuan dan keahliannya selama bekerja di tempat itu, maka perlu diadakan evaluasi kerja.

Yang penulis ingin tekankan pada ketiga mukadimah di atas adalah bahwasanya manusia dituntut untuk selalu belajar. Belajar, belajar, dan belajar. Dalam mukadimah pertama, tentu sebagai pemimpin (apakah itu khalifah, imam, atau amir) menghadapi berbagai halangan dan rintangan. Di situlah manusia dengan kapasitas sebagai khalifah, imam, atau amir terus menerus belajar menghadapi dan menyelesaikan masalah. Jika pun berdiam diri saja, maka beban-beban amanah yang diemban bisa tidak dapat diatasi. Efek dari itu manusia akan terjerumus ke dalam keadaan di mana tidak sesuai dengan tujuan awal penciptaannya. Efek minimalnya bumi tidak dapat terpelihara dengan baik. Mukadimah kedua dan ketiga menyatakan bahwa manusia harus selalu berbuat baik agar tidak termasuk ke dalam orang yang merugi. Belajar, salah satunya, bisa digolongkan ke dalam perbuatan baik tersebut. Bagaimana mungkin dapat menasihati dalam kebaikan (serta kebenaran pula) dan kesabaran apabila si penasihat itu tidak mengetahui ilmunya terlebih dahulu? Tentu ia harus belajar terlebih dahulu sebelum melakukan itu.

Tidak Ada Istilah Pensiun Berjuang

Terkait dengan prolog-prolog itu, penulis menemui sebuah kesamaan dalam beberapa momen yang penulis lihat dan alami.

Beberapa hari terakhir ini, penulis menemani kakak penulis mengikuti tes PNS (Pegawai Negeri Sipil) untuk bekerja sebagai staf dan karyawan di Universitas Indonesia. Untuk memudahkan penggunaan katanya, menemani kakak penulis melakukan proses mendaftar sebagai dosen negeri, bukan dosen swasta. Artinya mendapat gaji dari pemerintah. Berbeda dengan dosen swasta yang mendapat gaji dari institusi atau lembaga yang menaunginya.

Pada awal tahap seleksi, tes yang dilakukan semacam tes kemampuan dasar. Di situ mencakup perhitungan matematika, pengetahuan umum, dan pengetahuan kebangsaan.[3] Waktu itu penulis disuruh membeli buku terkait tes-tes CPNS. Sewaktu Dhoni, kolega penulis, mengunjungi kosan penulis. Ia melihat buku-buku itu berserakan. Lalu, ia dengan tertawa mempertanyakan,”Sudah level dosen, masa belajar beginian?” Penulis pun cukup tercengan mendengar pernyataannya. Di sisi lain penulis juga tidak dapat menampik kebenaran dari pertanyaan itu. Artinya, sudah S-3 pun tetap harus belajar itu: belajar hitung-hitungan seperti mau masuk perguruan tinggi.

Penulis pun diberitahu oleh kakak penulis bahwa dosen yang mengikuti tes tersebut haruslah lulus dalam setiap tingkatakan tes. Tentu saja, penulis bisa memahami itu. Namun yang cukup mengejutkan standar tes itu pun tidaklah rendah. Ada passing grade-nya jika ingin lulus yang berarti sekelas dosen senior pun harus tetap belajar hal seperti itu.

Hal di atas ditemui penulis ketika dalam beberapa kesempatan penulis juga bertemu dengan dosen-dosen terkenal yang mengikuti tes PNS. Saat melihat daftar peserta tes, penulis cukup tercengang ternyata ada beberapa dosen yang sudah melanglang buana di berbagai media namun diri mereka sendiri ternyata belum PNS. Ada beberapa dosen penulis yang sering menjadi narasumber di televisi yang juga mengikuti tes tersebut. Lalu, ada salah satu dosen FIB (Fakultas Ilmu Budaya) yang bernama Abdul Muta’ali yang juga turut serta.  Dosen tersebut cukup terkenal. Jika kita mengetikkan namanya saja di Google maka pasti ada saja berita yang terkait dengannya. Namun beliau ternyata selam ini belum PNS. Kejadian-kejadian ini menimbulkan tanya pada penulis. Pertama, dosen-dosen tersebut sudah cukup lama bekerja di UI, namun kenapa baru mendapat kuota PNS sekarang.

Baik, sebelum ke tahap itu. Penulis jelaskan sedikit mekanisme pengangkatan dosen internal dari suatu universitas. Katakanlah jalur untuk menjadi dosen ada dua: internal dan eksternal. Yang internal biasanya mereka sudah berkarier dulu di universitas tersebut, misal dulu pernah menjadi asisten dosen atau lab. Jika memiliki prestasi akademik yang bagus, maka ada kemungkinan pihak universitas atau fakultas untu menunjuknya menjadi dosen. Sedangkan jalur eksternal adalah jalur melalui Kemendikbud. Nah, jalur internal ada beberapa orang yang menyebut sebagai nepotisme karena sifat rekrutmennya yang tertutup. Teman penulis pernah melakukan penelitian di fakultas penulis terkait dengan pembukaan tenaga pengajar atau dosen di fakultas tersebut. Dan ternyata memang tidak ada pengumuman resmi kapan pembukaan, misalnya, penerimaan dosen. Penulis kira wajar jika dinamikanya demikian, pasalnya tentu tidaklah mudah orang lulusan ITB yang ingin mendaftar di UI meskipun disertasi doktoralnya banyak dan dari berbagai latar belakang.

Kembali lagi ke pertanyaan kenapa dosen-dosen senior baru mengikuti tes PNS sekarang? Ada beberapa kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, kuota PNS masing-masing fakultas terbatas. Di tahun ini saja dosen per jurusan dibatasi minimal satu sampai lima.[4] Atau sebutlah tidak sampai belasan atau puluhan.[5] Hal tersebut membuat dosen-dosen yang sudah lama berkarier pun harus bersabar untuk mendapat giliran jatah. Lalu, kemungkinan kedua tidak lolos pada tahap seleksi tertentu. Seleksi yang memberatkan memang (menurut penulis) adalah sewaktu TKD (Tes Kemampuan Dasar) di mana di situ memut soal hitungan. Nah, jika alasannay yang kedua maka menjadi dosen pun harus tetap belajar. Belajar apa pun termasuk hitung-hitungan untuk dapat lolos TKD. Jika tidak, ya mungkin nasibnya akan sama dengan beberapa dosen yang membujang tua menjadi dosen honorer.

Hikmah yang penulis ingin sampaikan di sini adalah bahwa kita, sebagai manusia, harus terus belajar. Tidak peduli kita sudah lulus, sudah menggapai suatu pencapaian, dan seterusnya. Tuhan menyuruh kita untuk terus berproses aktif dalam belajar atau pun dalam pelbagai hal lain.   



[1] Silakan dengarkan rekamannya di sini
[2] Tupoksi=Tugas Pokok dan Fungsi
[3] Penulis lupa komponen masing-masing dari tes tersebut
[4] Kalau tidak salah
[5] Ya, iyalah masa uang negara seenaknya dihabiskan, aduh mulai ngelantur

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar. Bebas!