Pos kali ini
masih berkait dengan pos yang sebelumnya. Namun sudut pandang dalam pos ini
agak sedikit berbeda.
Pertama, penulis
ingin menyampaikan sebuah mukadimah uraian kali ini. Suatu waktu penulis pernah
menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tugas manusia itu beraneka. Penulis
menyinggung manusia yang berperan sebagai khalifah, imam, dan amir.[1]
Secara singkat, penulis menjelaskan bahwa substansi dari ketiganya merupakan
beban sekaligus tanggun jawab manusia sebagai makhluk Allah Swt yang terpilih
untuk mengemban amanahnya di bumi; hidup di bumi. Andaikan manusia sudah berada
di surga tentulah manusia tidak disandangi dengan gelar-gelar tersebut:
khalifah, imam, dan amir. Kenapa? Karena tupoksi[2]
manusia saat berada di bumi dan di surga atau akhirat tentu sudah berbeda.
(1) Demi
masa.
(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
(3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al-‘Ashr]
(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
(3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al-‘Ashr]
Mukadimah kedua,
penulis teringat dengan beberapa ayat di surat Al-‘Ashr. Di situ disebutkan
pada ayat kedua bahwasanya manusia benar-benar dalam kerugian. Namun itu tidak
disandarkan kepada (1) orang yang beriman, (2) beramal baik, dan (3) saling
bernasihat dalam sabar dan kebaikan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa sesungguhnya orang yang tidak beramal baik maka dia termasuk orang-orang
yang merugi. Ketiga perbuatan yang disebutkan oleh surat ini merupakan tindakan
aktif, bukan tindakan pasif. Artinya, tindakan tersebut harus dilakukan terus menerus.
Tidak boleh putus, tetapi terus berlanjut.
Mukadimah ketiga
terkait ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Dalam teori SDM (Sumber Daya
Manusia), seorang karyawan dalam sebuah perusahaan haruslah memiliki beberapa faktor
agar dapat dikatakan berkembang (developing). Di antaranya faktor-faktor
tersebut ada proses penggajian yang memuaskan, proses belajar (learning
process), dan semangat kerja. Ambil salah satu indikator yakni proses belajar.
Apabila karyawan tidak meningkat kemampuan dan keahliannya selama bekerja di
tempat itu, maka perlu diadakan evaluasi kerja.
Yang penulis
ingin tekankan pada ketiga mukadimah di atas adalah bahwasanya manusia dituntut
untuk selalu belajar. Belajar, belajar, dan belajar. Dalam mukadimah pertama,
tentu sebagai pemimpin (apakah itu khalifah, imam, atau amir) menghadapi
berbagai halangan dan rintangan. Di situlah manusia dengan kapasitas sebagai
khalifah, imam, atau amir terus menerus belajar menghadapi dan menyelesaikan
masalah. Jika pun berdiam diri saja, maka beban-beban amanah yang diemban bisa
tidak dapat diatasi. Efek dari itu manusia akan terjerumus ke dalam keadaan di
mana tidak sesuai dengan tujuan awal penciptaannya. Efek minimalnya bumi tidak dapat
terpelihara dengan baik. Mukadimah kedua dan ketiga menyatakan bahwa manusia
harus selalu berbuat baik agar tidak termasuk ke dalam orang yang merugi.
Belajar, salah satunya, bisa digolongkan ke dalam perbuatan baik tersebut. Bagaimana
mungkin dapat menasihati dalam kebaikan (serta kebenaran pula) dan kesabaran
apabila si penasihat itu tidak mengetahui ilmunya terlebih dahulu? Tentu ia
harus belajar terlebih dahulu sebelum melakukan itu.
Tidak Ada
Istilah Pensiun Berjuang
Terkait dengan
prolog-prolog itu, penulis menemui sebuah kesamaan dalam beberapa momen yang
penulis lihat dan alami.
Beberapa hari
terakhir ini, penulis menemani kakak penulis mengikuti tes PNS (Pegawai Negeri
Sipil) untuk bekerja sebagai staf dan karyawan di Universitas Indonesia. Untuk
memudahkan penggunaan katanya, menemani kakak penulis melakukan proses
mendaftar sebagai dosen negeri, bukan dosen swasta. Artinya mendapat gaji dari
pemerintah. Berbeda dengan dosen swasta yang mendapat gaji dari institusi atau
lembaga yang menaunginya.
Pada awal tahap
seleksi, tes yang dilakukan semacam tes kemampuan dasar. Di situ mencakup
perhitungan matematika, pengetahuan umum, dan pengetahuan kebangsaan.[3]
Waktu itu penulis disuruh membeli buku terkait tes-tes CPNS. Sewaktu Dhoni,
kolega penulis, mengunjungi kosan penulis. Ia melihat buku-buku itu berserakan.
Lalu, ia dengan tertawa mempertanyakan,”Sudah level dosen, masa belajar
beginian?” Penulis pun cukup tercengan mendengar pernyataannya. Di sisi lain
penulis juga tidak dapat menampik kebenaran dari pertanyaan itu. Artinya, sudah
S-3 pun tetap harus belajar itu: belajar hitung-hitungan seperti mau masuk
perguruan tinggi.
Penulis pun
diberitahu oleh kakak penulis bahwa dosen yang mengikuti tes tersebut haruslah
lulus dalam setiap tingkatakan tes. Tentu saja, penulis bisa memahami itu.
Namun yang cukup mengejutkan standar tes itu pun tidaklah rendah. Ada passing
grade-nya jika ingin lulus yang berarti sekelas dosen senior pun harus tetap
belajar hal seperti itu.
Hal di atas
ditemui penulis ketika dalam beberapa kesempatan penulis juga bertemu dengan
dosen-dosen terkenal yang mengikuti tes PNS. Saat melihat daftar peserta tes,
penulis cukup tercengang ternyata ada beberapa dosen yang sudah melanglang
buana di berbagai media namun diri mereka sendiri ternyata belum PNS. Ada
beberapa dosen penulis yang sering menjadi narasumber di televisi yang juga
mengikuti tes tersebut. Lalu, ada salah satu dosen FIB (Fakultas Ilmu Budaya)
yang bernama Abdul Muta’ali yang juga turut serta. Dosen tersebut cukup terkenal. Jika kita
mengetikkan namanya saja di Google maka pasti ada saja berita yang terkait
dengannya. Namun beliau ternyata selam ini belum PNS. Kejadian-kejadian ini
menimbulkan tanya pada penulis. Pertama, dosen-dosen tersebut sudah cukup lama
bekerja di UI, namun kenapa baru mendapat kuota PNS sekarang.
Baik, sebelum ke
tahap itu. Penulis jelaskan sedikit mekanisme pengangkatan dosen internal dari
suatu universitas. Katakanlah jalur untuk menjadi dosen ada dua: internal dan
eksternal. Yang internal biasanya mereka sudah berkarier dulu di universitas
tersebut, misal dulu pernah menjadi asisten dosen atau lab. Jika memiliki
prestasi akademik yang bagus, maka ada kemungkinan pihak universitas atau
fakultas untu menunjuknya menjadi dosen. Sedangkan jalur eksternal adalah jalur
melalui Kemendikbud. Nah, jalur internal ada beberapa orang yang menyebut
sebagai nepotisme karena sifat rekrutmennya yang tertutup. Teman penulis pernah
melakukan penelitian di fakultas penulis terkait dengan pembukaan tenaga
pengajar atau dosen di fakultas tersebut. Dan ternyata memang tidak ada
pengumuman resmi kapan pembukaan, misalnya, penerimaan dosen. Penulis kira
wajar jika dinamikanya demikian, pasalnya tentu tidaklah mudah orang lulusan
ITB yang ingin mendaftar di UI meskipun disertasi doktoralnya banyak dan dari
berbagai latar belakang.
Kembali lagi ke
pertanyaan kenapa dosen-dosen senior baru mengikuti tes PNS sekarang? Ada
beberapa kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, kuota PNS
masing-masing fakultas terbatas. Di tahun ini saja dosen per jurusan dibatasi
minimal satu sampai lima.[4]
Atau sebutlah tidak sampai belasan atau puluhan.[5]
Hal tersebut membuat dosen-dosen yang sudah lama berkarier pun harus bersabar
untuk mendapat giliran jatah. Lalu, kemungkinan kedua tidak lolos pada tahap
seleksi tertentu. Seleksi yang memberatkan memang (menurut penulis) adalah
sewaktu TKD (Tes Kemampuan Dasar) di mana di situ memut soal hitungan. Nah,
jika alasannay yang kedua maka menjadi dosen pun harus tetap belajar. Belajar
apa pun termasuk hitung-hitungan untuk dapat lolos TKD. Jika tidak, ya mungkin
nasibnya akan sama dengan beberapa dosen yang membujang tua menjadi dosen
honorer.
Hikmah yang
penulis ingin sampaikan di sini adalah bahwa kita, sebagai manusia, harus terus
belajar. Tidak peduli kita sudah lulus, sudah menggapai suatu pencapaian, dan
seterusnya. Tuhan menyuruh kita untuk terus berproses aktif dalam belajar atau
pun dalam pelbagai hal lain.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar. Bebas!