Selasa, 02 Desember 2014

Stay Connected with Allah Swt!

Gadget. Sekarang ini siapa yang tak mengenal barang yang satu ini. Setiap orang memiliki gadget, menggunakannya, dan membawanya kemana-mana.

Bisa dibilang gadget merupakan separuh nyawa kita. Kenapa demikian? Karena apabila barang itu lupa dibawa, seolah kita akan mati sebagian; tak berdaya lagi; seperti lumpuh; tak dapat berbuat banyak. Iya kan? Hampir-hampir beberapa fungsi kemanusiaan tergantikan oleh gadget.

Dimensi fisik ruang sosial berubah dalam sebuah layar berbentuk persegi panjang. Interaksi sosial alamiahnya digantikan dengan berbagai layanan pesan instan (messenger) yang ada di dalamnya, menembus batasan jarak. Kita bisa berteriak, marah, dan mengekspresikan kesenangan dalam media sosial tersebut tanpa harus berada di tempat yang sama atau berdekatan. Suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan. Dulu, kita harus bertemu dan bertatap muka untuk saling berkomunikasi secara interaktif. Sekarang berkat adanya gadget semuanya berubah. Kita dapat meneriaki orang tanpa harus mengeluarkan energi dan mengucapkannnya lewat mulut. Cukup ketik atau pun pilih emoji yang menggambarkan itu.    

Hal tersebut merupakan alasan mengapa setiap orang  tidak bisa meninggalkan gadgetnya. Sama seperti kita tak dapat meninggalkan mulut kita untuk berbicara atau pun berkomunikasi. Jika gagdet ketinggalan, itu artinya mereka terputus dari dunia. Terputus dari orang-orang, teman, keluarga, dan informasi. Konektivitas dunia nyata berubah bentuk dalam konektivitas virtual.

Tapi bagaimana dengan Allah Swt? Apakah kekuatan konektivitas ketuhanan kita lebih lemah ketimbang dengan gadget? Kenapa konektivitas ketuhanan kita lemah?

Kesadaran (Ma’iyatullah)

Hal pertama dan utama adalah kesadaran. Kenapa membutuhkan gadget? Karena kita ‘sadar’ bahwa gadget merupakan bentuk kehadiran dunia nyata yang di sana ada teman-teman, informasi, dan kebutuhan-kebutuhan lain penunjang kehidupan. Sama dengan kesadaran akan kehadiran Allah Swt.

Sering kali kelupaan kita terhadap Allah Swt karena kita lupa akan kehadiran Allah Swt. Seolah-olah udara yang dihirup merupakan barang bebas (sesuai konsep ekonomi). Padahal tidak. Ada mekanisme sehingga manusia memeroleh perkenan menghirup udara Allah Swt, yakni mekanisme keberkasihan Allah Swt kepada seluruh makhluk (rahmatan lil ‘alamin).

Allah Lagi, Allah Lagi, Allah Terus

Bagaimana mengingat Allah Swt? Dengan dzikir. Dzikir pun terbagi menjadi macam-macam, salah satunya penggolongannya yakni (1) mengingatNya [dzikr adz-dzat] dan (2) selalu membutuhkanNya [dzikr al-asma’ wash-shifat].       

Tahapan pertama mengingatNya biasanya didahului keinginan manusia ingin terkabulkan segala hajatnya. Misalkan ketika kita sedang merasa terjepit utang dan ingin kaya, maka dzikir yang dilantunkan adalah Yaa Wasi’ (Wahai Yang Maha Luas), Yaa Ghaniyyu (Wahai Yang Maha Kaya). Ketika susah sewaktu belajar, maka dzikir yang dilantunkan adalah Yaa Rasyid, Yaa ‘Alim (Wahai Yang Maha Pintar dan Cerdas), dan seterusnya.

Pastilah setiap manusia menghadapi aneka cobaan dan rintangan dalam kehidupan. Untuk mengatasinya, manusia selalu membutuhkan pertolongan Allah Swt. Oleh karena itu, kehadiran Allah Swt dirasa akan semakin dekat ketika kesulitan (atau pun kebahagiaan) menghadang lalu kita meminta tolong kepada Allah Swt sembari berserah diri.

Tingkatan selanjutnya adalah dzikrudz-dzat. Dzikir ini merupakan dzikir tertinggi, lafalnya terkadang hanya Allah saja. Bahkan aliran sufisme hanya menyebut ‘hu, hu, hu,’ yang merupakan kata ganti dari Allah Swt. Penyebutan itu tanpa embel-embel rahman, rahim, dan seterusnya. Kenapa? Karena orang yang sudah sampai pada tingkatan itu mencintai Allah Swt tanpa syarat.

Penggambarannya mudah, bukankah kita sering menemui ungkapan “a true love comes with no logical reason.” Artinya apa? Bukan karena ia cantik, menarik, atau pun seksi alasan mencintai, tapi alasan yang tak dapat dijelaskan dengan akal kenapa mencintainya. Itu jika kasusnya kepada pasangan. Sama halnya dengan cinta kepada Allah Swt. Cinta tertinggi bukan karena utang kita ingin menjadi lunas, lantas sekonyong-konyong menjadi cinta kepada Allah Swt. Cinta tertinggi bukan karena ada maksud tertentu hajat ingin dikabul, lantas menjadi cinta kepadaNya. Memang cinta seperti itu juga tak salah, atau pun keliru. Benar, sepenuhnya benar (yakni yang sebelumnya disebut dzikrul-asma wash-shifat). Tetapi belum masuk kepada kategori dzikrudz-dzat.

Nah, dengan senantiasa mengingatNya tanpa syarat maka konektivitas kebertuhanan kita akan selalu berada pada tingkat sinyal 4G atau bahkan lebih ketika berbagai halangan menimpa dan menempa. 

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar. Bebas!