Gadget. Sekarang ini siapa yang tak mengenal
barang yang satu ini. Setiap orang memiliki gadget, menggunakannya, dan
membawanya kemana-mana.
Bisa dibilang gadget
merupakan separuh nyawa kita. Kenapa demikian? Karena apabila barang itu lupa
dibawa, seolah kita akan mati sebagian; tak berdaya lagi; seperti lumpuh; tak
dapat berbuat banyak. Iya kan? Hampir-hampir beberapa fungsi kemanusiaan tergantikan
oleh gadget.
Dimensi fisik
ruang sosial berubah dalam sebuah layar berbentuk persegi panjang. Interaksi
sosial alamiahnya digantikan dengan berbagai layanan pesan instan (messenger)
yang ada di dalamnya, menembus batasan jarak. Kita bisa berteriak, marah, dan
mengekspresikan kesenangan dalam media sosial tersebut tanpa harus berada di
tempat yang sama atau berdekatan. Suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin
dilakukan. Dulu, kita harus bertemu dan bertatap muka untuk saling berkomunikasi
secara interaktif. Sekarang berkat adanya gadget semuanya berubah. Kita dapat
meneriaki orang tanpa harus mengeluarkan energi dan mengucapkannnya lewat
mulut. Cukup ketik atau pun pilih emoji yang menggambarkan itu.
Hal tersebut
merupakan alasan mengapa setiap orang tidak bisa meninggalkan gadgetnya. Sama
seperti kita tak dapat meninggalkan mulut kita untuk berbicara atau pun
berkomunikasi. Jika gagdet ketinggalan, itu artinya mereka terputus dari
dunia. Terputus dari orang-orang, teman, keluarga, dan informasi. Konektivitas
dunia nyata berubah bentuk dalam konektivitas virtual.
Tapi bagaimana
dengan Allah Swt? Apakah kekuatan konektivitas ketuhanan kita lebih lemah
ketimbang dengan gadget? Kenapa konektivitas ketuhanan kita lemah?
Kesadaran (Ma’iyatullah)
Hal pertama dan
utama adalah kesadaran. Kenapa membutuhkan gadget? Karena kita ‘sadar’
bahwa gadget merupakan bentuk kehadiran dunia nyata yang di sana ada
teman-teman, informasi, dan kebutuhan-kebutuhan lain penunjang kehidupan. Sama
dengan kesadaran akan kehadiran Allah Swt.
Sering kali
kelupaan kita terhadap Allah Swt karena kita lupa akan kehadiran Allah Swt. Seolah-olah
udara yang dihirup merupakan barang bebas (sesuai konsep ekonomi). Padahal
tidak. Ada mekanisme sehingga manusia memeroleh perkenan menghirup udara Allah
Swt, yakni mekanisme keberkasihan Allah Swt kepada seluruh makhluk (rahmatan
lil ‘alamin).
Allah Lagi,
Allah Lagi, Allah Terus
Bagaimana
mengingat Allah Swt? Dengan dzikir. Dzikir pun terbagi menjadi macam-macam,
salah satunya penggolongannya yakni (1) mengingatNya [dzikr adz-dzat]
dan (2) selalu membutuhkanNya [dzikr al-asma’ wash-shifat].
Tahapan pertama
mengingatNya biasanya didahului keinginan manusia ingin terkabulkan segala
hajatnya. Misalkan ketika kita sedang merasa terjepit utang dan ingin kaya,
maka dzikir yang dilantunkan adalah Yaa Wasi’ (Wahai Yang Maha Luas), Yaa
Ghaniyyu (Wahai Yang Maha Kaya). Ketika susah sewaktu belajar, maka dzikir
yang dilantunkan adalah Yaa Rasyid, Yaa ‘Alim (Wahai Yang Maha
Pintar dan Cerdas), dan seterusnya.
Pastilah setiap
manusia menghadapi aneka cobaan dan rintangan dalam kehidupan. Untuk
mengatasinya, manusia selalu membutuhkan pertolongan Allah Swt. Oleh karena
itu, kehadiran Allah Swt dirasa akan semakin dekat ketika kesulitan (atau pun
kebahagiaan) menghadang lalu kita meminta tolong kepada Allah Swt sembari
berserah diri.
Tingkatan
selanjutnya adalah dzikrudz-dzat. Dzikir ini merupakan dzikir tertinggi,
lafalnya terkadang hanya Allah saja. Bahkan aliran sufisme hanya menyebut ‘hu,
hu, hu,’ yang merupakan kata ganti dari Allah Swt. Penyebutan itu tanpa
embel-embel rahman, rahim, dan seterusnya. Kenapa? Karena orang
yang sudah sampai pada tingkatan itu mencintai Allah Swt tanpa syarat.
Penggambarannya
mudah, bukankah kita sering menemui ungkapan “a true love comes with no
logical reason.” Artinya apa? Bukan karena ia cantik, menarik, atau pun
seksi alasan mencintai, tapi alasan yang tak dapat dijelaskan dengan akal
kenapa mencintainya. Itu jika kasusnya kepada pasangan. Sama halnya dengan
cinta kepada Allah Swt. Cinta tertinggi bukan karena utang kita ingin menjadi
lunas, lantas sekonyong-konyong menjadi cinta kepada Allah Swt. Cinta tertinggi
bukan karena ada maksud tertentu hajat ingin dikabul, lantas menjadi cinta
kepadaNya. Memang cinta seperti itu juga tak salah, atau pun keliru. Benar,
sepenuhnya benar (yakni yang sebelumnya disebut dzikrul-asma wash-shifat).
Tetapi belum masuk kepada kategori dzikrudz-dzat.
Nah, dengan
senantiasa mengingatNya tanpa syarat maka konektivitas kebertuhanan kita akan
selalu berada pada tingkat sinyal 4G atau bahkan lebih ketika berbagai halangan
menimpa dan menempa.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar. Bebas!