Selasa, 16 Desember 2014

Apa Itu Bahagia?

Entah apa yang akan kutulis. Mungkint terlihat cengeng, kekanak-kanakan, tapi biarlah aku menjadi seperti itu sesaat.

Apa itu bahagia?

Apakah masih terdefinisikan dengan kepemilikan uang yang begitu banyak. Harta yang berlimpah. Membersamai perempuan idaman. Itukah? Iya, itukah?

Entahlah. Aku pun tak tahu jawabannya.

Bisa jadi aku pun ingin bahagia dengan cara seperti itu. Memiliki banyak harta. Berlimpah, banyaknya bukan main.

Membersamai dengan pasangan hidup. Yang orang kerap kali singgung dalam nomenklatur cinta. Ayolah, cinta tidak melulu berbicara tentang lawan jenis, kan?

Ya, aku ingin bercinta, mencinta, dan dicinta. Tentu saja. Dengan seorang gadis. Pabila itu diperkenan, aku ingin selalu berkirim surat padanya, mengungkapkan detil-detil rasa pada tiap kata. Gadis yang mampu berdialektika dengan kata-kata. Memahami aksen dan diksiku. Bersama dalam romantika rasa yang menenteramkan. Seperti kisah Gus Dur ketika ia rindu atau ingin mengungkapkan rasa pada istrinya, maka ia tuliskan sebuah surat. Meskipun istrinya di rumah. Meskipun mereka tidak sedang berjauh. Ya, aku ingin seperti itu. Berdialektika dengan kata-kata. Atau seperti terkisah dalam film The Intouchables di mana pria lumpuh itu menjalin cinta dengan bersurat saja. Tanpa pernah menampakkan muka, tanpa pernah bertemu, mereka berdua larut pada dalamnya serta lembutnya kata-kata yang tertulis.

Entahlah, apakah itu bahagia?

Siapa perempuan itu? Yang mau menuliskan rasa dan cinta dalam kata-kata. Yang dapat tertawa, tersenyum, marah, dan sedih dalam keeleganan kata-kata yang ditulis. Adakah?

Sementara aku terjebak dalam rasa suka yang dibatasi batasan-batasan fisik materi. Aku masih suka dia yang bahkan tak pernah menyisakan sepotong hatinya untukku. Pun ketika aku membersamainya, apakah itu akan bahagia?

Entahlah, bagaimana itu bahagia?

Mari sejenak tinggalkan dan lupakan terkait jodoh. Toh ada sebagian orang yang menganggap bahwa peruntukan wanita bukanlah sebagai kebutuhan, tapi sekadar pelengkap kehidupan. Bukankah manusia tetap hidup tanpa menikah? Terserah mau percaya atau tidak. Yang jelas aku bisa jadi akan membujang untuk seumur hidup jika pun aku memercayainya sebagai sebuah prinsip kehidupan. Bukan karena tak ada perempuan yang sanggup menjadi pasangan jiwa.

Ya, lagi-lagi aku mempertanyakan apa itu bahagia?

Apakah itu sederet prestasi? Prestasi yang harus diupdate di akun-akun media sosial? Ketika mendapatkan sesuatu, maka dengan cepat ingin menginfokan kepada seluruh penjuru dunia,”Hei, aku ...!” Baik-baik, aku mengerti. Aku pun kadang seperti itu. Terkadang sesal setelah melakukan itu. Buat apa aku melakukan kecongkakakan? Hah?

Apakah bahagia itu dengan upload foto-foto panorama indah, makanan yang tak dapat dibagi. Sekadar pamer. Wow, pamer itu bukan sekadar, tetapi berkadar-kadar! Apakah itu kebahagiaan? Apakah itu benar-benar hakiki? Apakah aku tak takut membuat orang lain iri? Ataukah aku sengaja membiarkannya saja?


Apakah Kamu sedang membaca ini? Apakah membaca tulisan ini merupakan kebahagiaanmu?Entahlah. 

Senin, 15 Desember 2014

Hidup Itu Penuh Perjuangan

Pos kali ini masih berkait dengan pos yang sebelumnya. Namun sudut pandang dalam pos ini agak sedikit berbeda.

Pertama, penulis ingin menyampaikan sebuah mukadimah uraian kali ini. Suatu waktu penulis pernah menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa tugas manusia itu beraneka. Penulis menyinggung manusia yang berperan sebagai khalifah, imam, dan amir.[1] Secara singkat, penulis menjelaskan bahwa substansi dari ketiganya merupakan beban sekaligus tanggun jawab manusia sebagai makhluk Allah Swt yang terpilih untuk mengemban amanahnya di bumi; hidup di bumi. Andaikan manusia sudah berada di surga tentulah manusia tidak disandangi dengan gelar-gelar tersebut: khalifah, imam, dan amir. Kenapa? Karena tupoksi[2] manusia saat berada di bumi dan di surga atau akhirat tentu sudah berbeda.

(1)   Demi masa.
(2)   Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
(3)   kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [Al-‘Ashr]

Mukadimah kedua, penulis teringat dengan beberapa ayat di surat Al-‘Ashr. Di situ disebutkan pada ayat kedua bahwasanya manusia benar-benar dalam kerugian. Namun itu tidak disandarkan kepada (1) orang yang beriman, (2) beramal baik, dan (3) saling bernasihat dalam sabar dan kebaikan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya orang yang tidak beramal baik maka dia termasuk orang-orang yang merugi. Ketiga perbuatan yang disebutkan oleh surat ini merupakan tindakan aktif, bukan tindakan pasif. Artinya, tindakan tersebut harus dilakukan terus menerus. Tidak boleh putus, tetapi terus berlanjut.

Mukadimah ketiga terkait ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Dalam teori SDM (Sumber Daya Manusia), seorang karyawan dalam sebuah perusahaan haruslah memiliki beberapa faktor agar dapat dikatakan berkembang (developing). Di antaranya faktor-faktor tersebut ada proses penggajian yang memuaskan, proses belajar (learning process), dan semangat kerja. Ambil salah satu indikator yakni proses belajar. Apabila karyawan tidak meningkat kemampuan dan keahliannya selama bekerja di tempat itu, maka perlu diadakan evaluasi kerja.

Yang penulis ingin tekankan pada ketiga mukadimah di atas adalah bahwasanya manusia dituntut untuk selalu belajar. Belajar, belajar, dan belajar. Dalam mukadimah pertama, tentu sebagai pemimpin (apakah itu khalifah, imam, atau amir) menghadapi berbagai halangan dan rintangan. Di situlah manusia dengan kapasitas sebagai khalifah, imam, atau amir terus menerus belajar menghadapi dan menyelesaikan masalah. Jika pun berdiam diri saja, maka beban-beban amanah yang diemban bisa tidak dapat diatasi. Efek dari itu manusia akan terjerumus ke dalam keadaan di mana tidak sesuai dengan tujuan awal penciptaannya. Efek minimalnya bumi tidak dapat terpelihara dengan baik. Mukadimah kedua dan ketiga menyatakan bahwa manusia harus selalu berbuat baik agar tidak termasuk ke dalam orang yang merugi. Belajar, salah satunya, bisa digolongkan ke dalam perbuatan baik tersebut. Bagaimana mungkin dapat menasihati dalam kebaikan (serta kebenaran pula) dan kesabaran apabila si penasihat itu tidak mengetahui ilmunya terlebih dahulu? Tentu ia harus belajar terlebih dahulu sebelum melakukan itu.

Tidak Ada Istilah Pensiun Berjuang

Terkait dengan prolog-prolog itu, penulis menemui sebuah kesamaan dalam beberapa momen yang penulis lihat dan alami.

Beberapa hari terakhir ini, penulis menemani kakak penulis mengikuti tes PNS (Pegawai Negeri Sipil) untuk bekerja sebagai staf dan karyawan di Universitas Indonesia. Untuk memudahkan penggunaan katanya, menemani kakak penulis melakukan proses mendaftar sebagai dosen negeri, bukan dosen swasta. Artinya mendapat gaji dari pemerintah. Berbeda dengan dosen swasta yang mendapat gaji dari institusi atau lembaga yang menaunginya.

Pada awal tahap seleksi, tes yang dilakukan semacam tes kemampuan dasar. Di situ mencakup perhitungan matematika, pengetahuan umum, dan pengetahuan kebangsaan.[3] Waktu itu penulis disuruh membeli buku terkait tes-tes CPNS. Sewaktu Dhoni, kolega penulis, mengunjungi kosan penulis. Ia melihat buku-buku itu berserakan. Lalu, ia dengan tertawa mempertanyakan,”Sudah level dosen, masa belajar beginian?” Penulis pun cukup tercengan mendengar pernyataannya. Di sisi lain penulis juga tidak dapat menampik kebenaran dari pertanyaan itu. Artinya, sudah S-3 pun tetap harus belajar itu: belajar hitung-hitungan seperti mau masuk perguruan tinggi.

Penulis pun diberitahu oleh kakak penulis bahwa dosen yang mengikuti tes tersebut haruslah lulus dalam setiap tingkatakan tes. Tentu saja, penulis bisa memahami itu. Namun yang cukup mengejutkan standar tes itu pun tidaklah rendah. Ada passing grade-nya jika ingin lulus yang berarti sekelas dosen senior pun harus tetap belajar hal seperti itu.

Hal di atas ditemui penulis ketika dalam beberapa kesempatan penulis juga bertemu dengan dosen-dosen terkenal yang mengikuti tes PNS. Saat melihat daftar peserta tes, penulis cukup tercengang ternyata ada beberapa dosen yang sudah melanglang buana di berbagai media namun diri mereka sendiri ternyata belum PNS. Ada beberapa dosen penulis yang sering menjadi narasumber di televisi yang juga mengikuti tes tersebut. Lalu, ada salah satu dosen FIB (Fakultas Ilmu Budaya) yang bernama Abdul Muta’ali yang juga turut serta.  Dosen tersebut cukup terkenal. Jika kita mengetikkan namanya saja di Google maka pasti ada saja berita yang terkait dengannya. Namun beliau ternyata selam ini belum PNS. Kejadian-kejadian ini menimbulkan tanya pada penulis. Pertama, dosen-dosen tersebut sudah cukup lama bekerja di UI, namun kenapa baru mendapat kuota PNS sekarang.

Baik, sebelum ke tahap itu. Penulis jelaskan sedikit mekanisme pengangkatan dosen internal dari suatu universitas. Katakanlah jalur untuk menjadi dosen ada dua: internal dan eksternal. Yang internal biasanya mereka sudah berkarier dulu di universitas tersebut, misal dulu pernah menjadi asisten dosen atau lab. Jika memiliki prestasi akademik yang bagus, maka ada kemungkinan pihak universitas atau fakultas untu menunjuknya menjadi dosen. Sedangkan jalur eksternal adalah jalur melalui Kemendikbud. Nah, jalur internal ada beberapa orang yang menyebut sebagai nepotisme karena sifat rekrutmennya yang tertutup. Teman penulis pernah melakukan penelitian di fakultas penulis terkait dengan pembukaan tenaga pengajar atau dosen di fakultas tersebut. Dan ternyata memang tidak ada pengumuman resmi kapan pembukaan, misalnya, penerimaan dosen. Penulis kira wajar jika dinamikanya demikian, pasalnya tentu tidaklah mudah orang lulusan ITB yang ingin mendaftar di UI meskipun disertasi doktoralnya banyak dan dari berbagai latar belakang.

Kembali lagi ke pertanyaan kenapa dosen-dosen senior baru mengikuti tes PNS sekarang? Ada beberapa kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, kuota PNS masing-masing fakultas terbatas. Di tahun ini saja dosen per jurusan dibatasi minimal satu sampai lima.[4] Atau sebutlah tidak sampai belasan atau puluhan.[5] Hal tersebut membuat dosen-dosen yang sudah lama berkarier pun harus bersabar untuk mendapat giliran jatah. Lalu, kemungkinan kedua tidak lolos pada tahap seleksi tertentu. Seleksi yang memberatkan memang (menurut penulis) adalah sewaktu TKD (Tes Kemampuan Dasar) di mana di situ memut soal hitungan. Nah, jika alasannay yang kedua maka menjadi dosen pun harus tetap belajar. Belajar apa pun termasuk hitung-hitungan untuk dapat lolos TKD. Jika tidak, ya mungkin nasibnya akan sama dengan beberapa dosen yang membujang tua menjadi dosen honorer.

Hikmah yang penulis ingin sampaikan di sini adalah bahwa kita, sebagai manusia, harus terus belajar. Tidak peduli kita sudah lulus, sudah menggapai suatu pencapaian, dan seterusnya. Tuhan menyuruh kita untuk terus berproses aktif dalam belajar atau pun dalam pelbagai hal lain.   



[1] Silakan dengarkan rekamannya di sini
[2] Tupoksi=Tugas Pokok dan Fungsi
[3] Penulis lupa komponen masing-masing dari tes tersebut
[4] Kalau tidak salah
[5] Ya, iyalah masa uang negara seenaknya dihabiskan, aduh mulai ngelantur

Minggu, 14 Desember 2014

Kisanak Itu dari FMIPA

Ada dua hal yang ingin penulis ungkapkan pertama kali. Pertama yakni terkait judul yang penulis gunakan. Terdapat kata ‘kisanak.’ Rujukan utama penulis dalam berblog ria adalah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Namun demikian di dalam kamus tersebut tidak ada lema kisanak. Tapi dari temuan ini, penulis tidak terburu-buru untuk mengatakan bahwa kata kisanak merupakan lema haram dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, penulis mencoba mencari-cari analisis karya sastra yang menggunakan kata kisanak. Ternyata ada, lebih dari satu. Maka, penulis menyimpulkan sementara kata kisanak merupakan kata sapaan dialektis yang berasal pada daerah tertentu. Sayangnya, riset penulis belum sampai menemukan di mana daerah yang menggunakan kata sapa kisanak. Namun singkatnya, kata kisanak bukan merupakan kata yang tak baku. Kata tersebut lazim digunakan dalam pelbagai karangan sastra berbahasa Indonesia. 

Hal kedua adalah terkait komitmen awal penulis bahwa di blog barunya, yaitu yang sedang Anda baca, tidak akan membicarakan orang lain seperti yang sudah-sudah. Untuk kali ini, substansi dari narasi seorang kisanak ini bukan karena ingin menceritakan yang substansinya menjelek-jelekkan atau pun mengungkapkan fakta tersembunyinya. Bukan. Narasi atau uraian kali ini merupakan refleksi dari perasaan yang penulis alami. 

Jumpa pada Pandangan Pertama 

Kisanak ini penulis temui pada OBM (Orientasi Mahasiswa Baru), tepatnya pada acara ToT (Training of Trainer). Kebetulan penulis dan dia bersama dalam satu kelas atau ruangan ToT. Pada permulaan awal, para peserta ToT disuruh untuk memperkenalkan diri masing-masing: nama, asal fakultas, profesi, dan motivasi menjadi fasilitator OBM. 

Kebetulan si kisananak tadi duduk di pojok kanan ruangan di mana peserta yang duduk di kursi tersebut haruslah memperkenalkan diri terlebih dahulu. Penulis lupa namanya siapa, tapi dari perkenalannya ternyata dia merupakan salah seorang dosen di FMIPA (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam). Lalu alasan ia mengikuti pelatihan OBM ini karena anjuran dari departemennya. Harus diakui memang setiap fakultas mengirimkan perwakilan dosennya. Biasanya mereka memilih dosen-dosen yang masih muda untuk menjadi fasilitator OBM. Penulis menjadi terpikir seandainya kakak penulis masih di sini maka tidak menutup kemungkinan penulis dan dia akan bersama bertemu mengikuti pelatihan ini pasalnya kakak penulis masih memiliki umur yang muda. 

Kesan pertama penulis pada kisanak tadi tidak terlalu berbeda ketika memikirkan kolega penulis yang bernama Alwan. Memang penulis menggunakan steorotip karakter setiap fakultas. Misalnya kalau yang dari fakultas teknik maka orangnya akan cenderung memiliki kepribadian yang keras atau semisalnya, seperti orang-orang yang sangkakan saat awal bertemu. Demikian yang penulis pada si kisanak ini, ia terlihat kaku dan kelihatan kurang dapat bergaul dengan sesamanya, ditambah lagi dengan kacamata tebalnya membuat ia seperti seorang ilmuan yang terlalu banyak menghabiskan hidupnya di laboratorium. Singkatnya jumpa pada pandangan pertama dengan dia tidak ditemukan sesuatu yang spesial mengenainya. 

Jumpa pada Pandangan Kedua

Kali ini penulis akan menceritakan pertemuannya yang kedua. Tepatnya sewaktu tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) untuk dosen di daerah Depok, penulis lupa di mana tempatnya. Kebetulan waktu itu penulis mengantarkan kakak penulis yang juga mengikuti tes serupa. Tak dinyana penulis kembali bertemu lagi dengan kisanak FMIPA itu. Pada waktu itu pun, penulis dan dia sudah saling bertatap mata. Namun sepertinya entah karena kita berdua berpura-pura tidak saling kenal atau karena alasan lain, singkat cerita kami tidak saling menyapa. Meskipun kami berkali-kali saling beradu pandang. 

Waktu bertemu penulis sudah menduga pasti dosen muda belum PNS (Pegawai Negeri Sipil). Istilah sederhanya masih dosen honorer (persamaan untuk guru honorer), namun gaji antara guru dan dosen honorer tentulah memiliki jarak yang tidak sedikit.   

Jumpa pada Pandang Ketiga

Kali ini penulis bertemu lagi dengan kisanak dari FMIPA ini. Ceritanya setelah lolos pada tahapan tes yang terdahulu, para peserta yang lolos masih diharuskan untuk mengikuti tes psikologi. Bedanya sekarang penyelenggaranya adalah institusi masing-masing. Jadi sesiapa yang mendaftar bekerja di UI (Universitas Indonesia) maka mereka melakukan tes lanjutan di UI juga. Tidak terkecuali kakak penulis. 

Di Fakultas Psikologi UI, lagi-lagi penulis bertemu dengan kisanak itu. Di sana ia membawa anaknya menggunakan kereta dorong. Penulis menambahkan analisis penulis bahwa si kisanak itu ternyata sudah mempunyai anak. Sewaktu menunggui istrinya mengikuti tes di sini, ia terlihat membawa aneka perlengkapan istrinya dan perlengkapan bayi. Menyelendang di sekujur tubuhnya. 

Di tempat ini pun, penulis lagi-lagi bersipandang dengan kisanak itu. 

Jumat, 12 Desember 2014

Fluktuasi Iman

Iman atau keadaan spiritual seseorang biasanya akan mengalami kenaikan[1] dan penurunan. Demikian yang dialami oleh penulis. Di sini penulis akan sedikit bercerita beberapa keadaan keimanan penulis dalam kondisi-kondisi tertentu.

Kondisi Taubat

Taubat berasal dari kata taba-yatubu yang memiliki arti kembali.[2] Kembali dari perbuatan salah atau kemaksiatan menuju kepada Allah Swt. Pada kondisi ini, penulis merasa bersalah sekali atas semua perbuatan salah dan dosa. Mulai dari dosa yang kecil hingga yang terhitung besar. Kadang menyesal telah menyakiti teman, kawan, sahabat, dan handai (atau siapa pun), baik dengan kata-kata atau perbuatan. Tidak jarang pula pada kondisi ini penulis berlinang air mata mengingat betapa kasih Allah Swt masih memberikan hidup kepada penulis. Mengapa harus memberi kehidupan kepada para pendosa seperti penulis?

Kondisi taubat ini juga biasa dimulai, selain karena merasa salah, juga kadang ketika semangat mulai menurun. Musababnya macam-macam. Mulai dari lesu menghadapi aktivitas atau pun jenuh. Juga karena hasil yang diharapkan tidak kunjung tercapai dan tergapai.

Back To Be Spiritful

Setelah fase taubat biasanya semangat penulis akan kembali berseri-seri lagi. Recharged! Kira-kira demikian ekspresi yang dapat digambarkan. Setelah fase taubat kadang muncul semangat-semangat baru menempuh hidup. Misalnya membuat rencana yang lebih jelas, serta bagaimana cara menempuh rencana tersebut agar terwujud dengan cara-cara yang lebih masuk akal. Di situ kadang ada ‘tangan-tangan Tuhan’ yang tak kelihatan, membantu penulis memunculkan ide-ide serta memberikan baterai spirit.

Dekat dengan Allah Swt

Kondisi ini biasanya ditandai dengan rasa ingin bertemu dengan Allah Swt, bahkan kadang menginginkan disegerakan mati, menikmati kehadiran Allah Swt dalam setiap shalat dan seterusnya, tidak peduli dengan apa pun (tidak memikirkan dengan kekayaan, jodoh, atau hal-hal dunia). Rasa-rasanya sudah cukup dengan merasakan kehadiran Allah Swt. Puncak keinginan tertinggi dari fase ini adalah ingin melihat Wajah Allah Swt. Bahkan seandainya penulis masuk neraka pun asalkan sudah melihat Wajah Allah Swt rasanya puas sekali, bahagia tak terkira. Analogi sederhanya adalah ketika melihat WajahNya merupakan kebahagiaan tak terkira, maka kebahagiaan tersebut akan mengalahkan rasa sakit dan pedih api neraka.[3] Titik kulminasi dari fase ini adalah melihat Wajah Allah Swt, bukan masuk surga. Atau lebih tepatnya lebih dari sekadar masuk surga.

Masa Jahiliyah

Fase ini biasanya ditandai dengan malas ke masjid, malas beribadah, dan beribadah seadanya. Zikir dan wirid bakda salat menjadi hilang. Membaca Al-Qur’an menjadi jarang. Dalam fase ini pula melakukan perbuatan-perbuatan jahil dianggap biasa saja. Artinya kadang menganggapnya enteng.

Semoga kita dapat selalu meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita. Amin.



[1] QS Al-Fath: 4
[3] Namun analogi ini belum sepenuhnya betul karena belum tentu orang yang masuk neraka (di dunia akhirat) akan diperkenankan melihat wajah Allah Swt.
للصائم فرحتان، فرحة عند فطره، وفرحة عند لقاء ربه
Artinya: terdapat dua kebahagiaan yang diperoleh kepada orang-orang yang berpuasa: (1) ketika berbuka, dan (2) ketika bertemu dengan Tuhannya (HR Bukhari dan Muslim)

Rabu, 10 Desember 2014

Sendiri

Aku ingin menjadi terasing. Menikmati sepoi angin dan semilir kibasan pohon dan daunnya. 

Jauh dari hiruk piruk keramaian kota dan orangnya. Tak harus menjadi terkenal atau mengenal. Bersahabat dengan alam dalam ketenteraman. Tidur beralaskan pasir putih lembut, beratapkan temaram malam menjelang. 

Tak perlu bersandiwara dan berebut cinta. Tak ada persaingan dan perlombaan. Semuanya setara, tak ada yang menggugat atau pun dipersalahkan.  

Entahlah apakah ada hidup yang seperti itu?

Selasa, 09 Desember 2014

Aku (Kini)

Aku tak mengerti semua ini. Aku hanya ingin menangis keras. Bereteriak lantang. Tak peduli siapa yang lihat, siapa yang dengar.

Aku menjadi tek keruan. Hilang arah. Goyah.

Takut.

Aku bingung harus ke mana. Aku tak tahu apakah ini akan berlanjut ataukah tidak. Aku tak ingin di sini lagi. Aku tak ingin di sini lagi.

Mungkin kau mencoba mengartikan apa yang sedang kutulis. Bisa jadi kau akan tahu sedikit, atau banyak. Tepat atau memeleset. Begitulah hidup. Sawang sinawang. Looking each other.

Tapi yang mesti diketahui adalah bahwa kita hidup tidak hanya untuk saling lihat melihat tapi juga tolong menolong. Ta’awun ‘alal birri.

Entahlah. Entah apa yang sedang kutulis.


Aku sakit. Aku gila. Aku psikopat. Mungkin itu yang mereka katakan. Aku tidak meragukannya.

draf blog lama yang belum sempat dipublikasikan

Minggu, 07 Desember 2014

Mereka (Mungkin) Cemburu

If by now I'm loved by many people, then at the same time I hurt & harm them simultaneously. Because I make them jealous quite often.

Kali ini aku akan menulis tentangku lagi. Ya, cerita tentangku. Mungkin tak ada gunanya, sama sekali. Jadi, kuperingatkan kau untuk segera menutup halaman blog ini. 

Baik, harus kuakui awalnya kepindahan alamat blog memiliki alasan agar di blog yang baru ini akan muncul tulisan-tulisan yang lebih bermanfaat. Minimal tidak membicarakan orang atau pun hal-hal yang tak berguna lainnya. 

Nah, untuk membedakan mana yang bermanfaat, mana yang tidak maka aku sekarang kadang membagi (share) tulisan yang bermanfaat di Facebook dan di situs netizen Kompasiana

Oke, kali ini aku akan bercerita tentang rasa. Mungkin bagi Anda yang sudah terlampau sering mengunjungi blogku yang lama akan mudah menjumpai istilah rasa, cinta, suka, dan sejenis. Uraian ini lagi-lagi akan membahas tentang itu. 

Mukadimah dari tulisan ini merupakan ujaran yang tertulis di atas. Bisa jadi Anda yang mengerti bahasa Inggris akan mudah paham maksudnya. Ya, seperti itu.

Pernah seorang teman berujar jika di masa depan aku mempunyai istri, mungkin istriku akan merasa cemburu akibat banyaknya tulisan-tulisan tentang wanita lain. Baik tulisan itu didasari atas motif cinta atau biasa saja. Yang dimaksud cinta seperti saat aku mengungkapkan ekspresi rasa kepada beberapa gadis yang aku pernah suka. Sedang yang biasa bisa jadi berkisar tentang beberapa cerita mengenai mereka, entah dalam bentuk biografi, riwayat percakapan, dan bentuk narasi lain. 

Cemburu. Rasa itu mungkin akan muncul kepada istriku saat membaca itu semua. Baiklah, tidak perlu terburu-buru untuk memasukkan istilah istri. Cukup pakai istilah orang yang kita cintai atau minimal dicintai sebagai batasan. 

Sekarang begini, andaikan memang terdapat beberapa gadis yang suka atau cinta padaku sekarang. Aku pun menyadari pelbagai tindakanku baik di dunia maya atau nyata terkadang bisa jadi akan menimbulkan kecemburuan kepada orang yang menyukaiku. Misalkan dari interaksi di media sosial. Orang yang menyukaiku akan melihat bahwa aku akan dengan mudah untuk berkomentar pada gadis lain. Mungkin bagiku itu biasa-biasa saja, tapi tidak dengan orang yang mungkin mencintaiku. 

Bagaimana itu bisa terjadi? Sekarang aku akan membuktikannya secara terbalik. Sewaktu aku menyukai si A, melihat si A berinteraksi dengan pria yang lain rasa “sakitnya tuh di sini.” Meskipun itu hanya sekadar berbalas komentar yang tak ada hubungannya dengan cinta. Tapi tetap saja, rasanya cemburu, ada sesak di dada, dan sedikit lecet di hati. Nah, mungkin itu perasaan yang akan dirasakan kepada beberapa orang yang mencintaiku. Mungkin dia akan merasa cemburu hingga akhirnya dia akan berpindah untuk mencintai orang lain secara tersembunyi. 

Namun interaksi meskipun belum mengarah pada cinta bisa menjadi indikasi dua orang tersebut dalam sebuah hubungan. Tipe ini bisa berfungsi kepada mereka-mereka yang tidak mengenal istilah pacaran. Hal tersebut membuat mereka menunggu waktu yang tepat untuk dapat menikah. Nah, dalam masa penungguan itu mereka sebenarnya sudah saling mengenal pada tahap penetrasi (cinta). Tahap itu ditunjukkan dengan saling komentar dengan semangat seolah mereka tidak disaksikan oleh netizen atau pun pengguna media sosial lain. 

Kenapa aku bisa menyimpulkan demikian? Semuanya berasalan, meskipun ini hanya baru terbukti pada satu kejadian yang pernah kualami. Pernah aku dimintai pendapat seorang teman untuk menikahi seseorang. Dia menyukai si X, lalu dia melamarnya. Namun lamaran itu ditolak. Dia menganilisis kenapa ditolak. Tuturannya menngungkap dia mungkin suka pria yang lain. Disebutkan pria yang lain itu dari A, B, C, dan D. Nah, salah satu di antaranya disebut karena mereka berdua, yakni si X dengan si B, sudah saling berkomentar pada suatu media sosial. Waktu itu aku belum mengiyakan dengan serta merta alasannya. Tapi waktu bergulir dan membenarkan dugaan sahabatku. Si X menikah dengan si B. Dari sini, aku percaya bahwa intensitas komentar, chatting, atau pun bentuk interaksi lain merupakan tanda-tanda awal saling cinta.